WILWATEKTA.COM – Dalam kultur politik di negara abad-21 masyarakat punya peran penting dalam kebijakan pemerintah. Sehingga dikenal dengan konsep pembangunan inklusif. Namun terkadang masyarakat terasa, “makan buah si malaka, nggak dimakan sayang, dimakan keracunan.” Artinya sama persis seperti kondisi kebijakan politik di Indonesia, masyarakat disuruh berperan, tapi masukan yang muncul hilang ditengah jalan. Bagaimana tidak, masyarakat hanya dianggap sebagai legitimasi kepandaian berbicara para politisi. Namun sayang, kepandaian mereka hanya digunakan untuk menghindari tanggung jawab, dampaknya bisa sangat merugikan masyarakat. Fenomena ini sering kita saksikan dalam bentuk politisi yang lihai berkelit dari pertanyaan sulit, menyajikan retorika tanpa substansi, atau mengalihkan isu dari inti masalah. Sebuah strategi komunikasi yang terkesan cerdas, tetapi pada akhirnya hanya membuat masyarakat semakin sulit.
Kita ambil contoh kasus pemagaran laut di pesisir Tangerang. Kemudian polemik pagar laut ini dilaporkan oleh masyarakat pada instansi terkait. Namun laporan masyarakat mengambang, karena lembaga/instansi pemerintah saling lempar tanggung jawab. Pokok untuk membenarkan posisi jabatan masing-masing, mereka saling mencari pembenaran. Antara benar atau salah, tidak menemukan solusi. Akhirnya pagar laut dicabut, dan nggak ketemu siapa oknum yang memagar laut. Cukup sial memang negara wakanda. “Yang edan makin kenyang, yang jujur makin kelaparan.”
Dasar memang politisi, “cerdas berkelit” kerap memanfaatkan bahasa yang rumit atau pernyataan ambigu untuk menghindari pertanyaan kritis. Alih-alih memberikan solusi konkret, mereka menyampaikan jawaban panjang lebar yang justru tidak menjawab inti persoalan. Misalnya, saat ditanya mengenai langkah nyata untuk mengatasi inflasi, jawaban yang diberikan malah berkisar pada pencapaian masa lalu yang tidak relevan dengan konteks pertanyaan. Dan kasus serupa terus berulang-ulang.
Dalam kasus lain, ketika menghadapi tekanan publik terkait kebijakan kontroversial, mereka justru mengalihkan fokus ke isu yang bersifat emosional seperti sentimen kebangsaan atau agama, sehingga masyarakat lupa dengan inti persoalan yang sebenarnya.
Bentuk lain dari strategi berkelit adalah pengalihan isu. Ketika suatu masalah besar muncul, politisi tertentu lebih memilih untuk memunculkan narasi baru yang tidak berkaitan. Misalnya, di tengah krisis ekonomi, diskusi publik malah digiring ke topik yang bersifat sentimental atau ideologis. Cara ini mungkin efektif untuk sementara waktu, tetapi hanya menunda penyelesaian masalah yang sebenarnya. Dalam banyak kasus, strategi seperti ini memperlihatkan bagaimana politisi lebih peduli pada citra mereka di mata publik ketimbang menyelesaikan masalah rakyat.
Politisi yang lihai berkelit sering kali beroperasi di balik tirai ketidaktransparanan. Mereka jarang memberikan penjelasan rinci tentang kebijakan yang diambil atau anggaran yang digunakan. Padahal, masyarakat berhak tahu bagaimana dana publik dikelola dan apakah kebijakan tersebut benar-benar berpihak pada rakyat. Ketidaktransparanan ini sering kali diperkuat dengan minimnya pengawasan dari lembaga yang seharusnya bertindak independen. Akibatnya, ruang untuk penyalahgunaan kekuasaan menjadi semakin lebar, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah semakin tergerus.
Ketika politisi lebih fokus pada cara menghindari tanggung jawab daripada menyelesaikan masalah, dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintahan menjadi salah satu konsekuensi yang paling nyata. Jawaban politisi yang tidak memberikan kejelasan hanya memperburuk ketidakpercayaan ini, yang pada akhirnya dapat memengaruhi stabilitas sosial dan politik.
Selain itu, ketidakmampuan politisi untuk menghadirkan solusi nyata menyebabkan permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat semakin kompleks. Contohnya adalah kebijakan yang lambat dan tidak tepat dalam menangani kenaikan harga bahan pokok. Dalam beberapa kasus, keputusan yang tidak memihak masyarakat luas justru menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara golongan kaya dan miskin. Narasi yang manipulatif juga dapat memecah belah masyarakat, menciptakan konflik di antara kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda, sehingga solidaritas sosial pun terganggu.
Menghadapi politisi yang cerdas berkelit membutuhkan sikap kritis dan proaktif dari masyarakat. Edukasi politik perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat memilih pemimpin yang jujur, kompeten, dan berpihak pada rakyat. Selain itu, masyarakat harus terus menuntut transparansi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, termasuk penggunaan anggaran negara.
Media dan institusi independen juga harus aktif mengawasi dan mengungkap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Sebagai contoh, investigasi mendalam terhadap kebijakan yang mencurigakan bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk membuka tabir ketidaktransparanan. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan juga dapat dilakukan melalui forum-forum diskusi publik atau advokasi berbasis komunitas.
Politisi yang cerdas berkelit mungkin terlihat pintar di permukaan, tetapi dampaknya bisa sangat merugikan masyarakat. Retorika tanpa substansi, pengalihan isu, dan kurangnya transparansi adalah tantangan besar yang harus dihadapi bersama. Dengan sikap kritis dan kolaborasi semua pihak, kita bisa mendorong hadirnya politik yang lebih jujur, transparan, dan benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Masyarakat harus menyadari bahwa perubahan tidak datang dari politisi semata, tetapi dari partisipasi aktif setiap individu dalam membangun bangsa yang lebih baik. (*)