WILWATEKTA.COM – Dalam kehidupan manusia, nalar dan hati adalah dua elemen yang saling melengkapi. Nalar memberikan kemampuan untuk berpikir logis dan membuat keputusan berdasarkan rasionalitas, sementara hati menawarkan rasa empati, kasih sayang, dan nilai-nilai moral yang menjadi dasar dari kemanusiaan. Namun, dalam banyak kasus, kita menyaksikan bagaimana nalar dapat mati ketika hati kehilangan fungsinya. Fenomena ini tidak hanya menjadi masalah individu, tetapi juga menciptakan dampak besar bagi masyarakat secara keseluruhan.
Fenomena ini diperparah dengan derasnya era digital dan maraknya konten-konten yang cukup menguras emosi. Diperparah dengan menjamurnya konten amoral di dunia maya. Disadari atau tidak, konten yang minim subtansi positif telah membuat nalar manusia mati. Karena kecenderungan konten yang receh dapat merusak psikologi. Dari mulai gaya hidup yang tidak sehat sampai budaya berteman yang minim rasa saling menghormati. Itu hanya contoh sebagian kecil.
Secara tidak langsung, budaya penggunaan medsos yang tidak cerdas juga sangat signifikan dalam mempengaruhi nalar manusia. Jika sudah terbiasa berpikir praktis, maka tidak akan mau susah, tidak punya empati dan sulit bergaul dengan dunia baru. Istilah Gen milenial dan Gen Z, lebih baik “mager” dan main game di warung kopi.
Dengan nalar yang tidak kritis ini juga membuat dampak buruk bagi bangsa Indonesia di masa depan. Bagaimana mungkin mempercayakan masa depan bangsa terhadap generasi yang tidak punya nalar kritis. Maka secara otomatis, tidak punya nalar membangun terhadap bangsanya sendiri. Karena tidak punya naluri, artinya hatinya juga mati.
Jika hati tidak berfungsi, nalar kehilangan arahnya. Sebuah keputusan yang semula tampak masuk akal dapat berubah menjadi dingin, kejam, dan tidak manusiawi ketika tidak dilandasi oleh empati atau pertimbangan moral. Contohnya dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kebijakan publik yang hanya berfokus pada keuntungan ekonomi tanpa memperhatikan dampak sosial, atau tindakan individu yang mengorbankan orang lain demi mencapai tujuan pribadi.
Hati yang tak berfungsi sering kali diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti trauma emosional, tekanan sosial, atau budaya kompetitif yang mengagungkan hasil di atas proses. Dalam dunia yang semakin terobsesi dengan efisiensi dan produktivitas, aspek-aspek manusiawi sering kali terpinggirkan. Orang-orang diajarkan untuk mengejar target tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Akibatnya, empati menjadi hal yang langka, dan nilai-nilai moral perlahan terkikis.
Di sisi lain, nalar yang tidak disertai hati juga cenderung menjadi alat untuk membenarkan tindakan-tindakan yang merugikan. Sebagai contoh, kita sering mendengar argumen yang membenarkan eksploitasi sumber daya alam dengan alasan kemajuan teknologi atau ekonomi. Namun, tanpa rasa tanggung jawab terhadap lingkungan dan generasi mendatang, tindakan tersebut justru menjadi bumerang yang merusak keberlanjutan hidup manusia di bumi.
Fenomena ini juga terlihat dalam hubungan antarindividu. Ketika hati tidak berfungsi, hubungan menjadi transaksional dan kehilangan kedalaman emosionalnya. Orang mulai memandang orang lain hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan mereka, bukan sebagai sesama manusia yang memiliki perasaan dan kebutuhan. Hal ini menyebabkan alienasi, ketidakpercayaan, dan fragmentasi sosial yang semakin memperburuk kualitas hidup masyarakat.
Untuk mengembalikan keseimbangan antara nalar dan hati, diperlukan upaya untuk menghidupkan kembali empati dan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan memegang peranan penting dalam hal ini. Selain mengajarkan kemampuan berpikir kritis, pendidikan juga harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Hal ini dapat dilakukan melalui pengenalan kisah-kisah inspiratif, diskusi tentang isu-isu moral, dan keterlibatan dalam kegiatan sosial yang memperkuat rasa solidaritas.
Selain itu, kita juga perlu menciptakan ruang refleksi di tengah kehidupan yang serba cepat ini. Dengan meluangkan waktu untuk merenungkan tindakan dan keputusan kita, kita dapat memastikan bahwa nalar kita selalu didampingi oleh hati. Refleksi ini juga membantu kita untuk menyadari bahwa setiap keputusan yang kita buat memiliki dampak, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Peran komunitas juga tidak kalah penting. Dalam komunitas yang saling mendukung, individu didorong untuk tidak hanya berpikir tentang diri sendiri, tetapi juga tentang orang lain. Lingkungan yang hangat dan penuh empati dapat membantu menghidupkan kembali fungsi hati yang mungkin telah lama tertidur akibat kerasnya kehidupan.
Pada akhirnya, keseimbangan antara nalar dan hati adalah kunci untuk menciptakan kehidupan yang lebih manusiawi dan bermakna. Ketika nalar bekerja selaras dengan hati, keputusan yang diambil tidak hanya logis tetapi juga etis. Sebaliknya, jika hati tidak berfungsi, nalar akan kehilangan arah, dan manusia akan terjebak dalam lingkaran pragmatisme yang kosong. Oleh karena itu, menjaga hati tetap hidup adalah tanggung jawab kita bersama sebagai manusia, agar dunia ini tidak hanya menjadi tempat yang cerdas tetapi juga tempat yang penuh kasih. (*)