wilwatekta.com
  • Home
  • Opini
  • Berita
  • Viral
  • Tuban
  • Bisnis
  • Esai
  • Makanan
No Result
View All Result
wilwatekta
  • Home
  • Opini
  • Berita
  • Viral
  • Tuban
  • Bisnis
  • Esai
  • Makanan
No Result
View All Result
wilwatekta
No Result
View All Result
Home Opini

Budaya Flexing Meruntuhkan Kemandirian Masyarakat

Redaksi by Redaksi
January 17, 2025
in Opini
0
Budaya Flexing Meruntuhkan Kemandirian Masyarakat

Foto: Pixabay.com

Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Aam Waro’ Panotogomo

WILWATEKTA.COM – Di era digital yang serba terhubung, media sosial telah menjadi wadah utama bagi individu untuk mengekspresikan diri dan berbagi momen kehidupan mereka. Namun, di balik kemudahan berbagi informasi dan pencapaian, muncul sebuah budaya yang semakin mendominasi perilaku sosial, yaitu budaya flexing. Flexing merujuk pada tindakan pamer kekayaan, kesuksesan, atau gaya hidup mewah dengan tujuan memperoleh pengakuan atau validasi dari orang lain. Meskipun tampak menarik di permukaan, budaya flexing memiliki dampak yang merusak, terutama dalam hal meruntuhkan kemandirian masyarakat, baik dalam konteks finansial, sosial, maupun mental.

Salah satu dampak paling signifikan dari budaya flexing adalah munculnya tekanan sosial yang mendorong individu untuk selalu terlihat sempurna di mata orang lain. Media sosial dengan algoritma canggihnya memprioritaskan konten yang menarik perhatian, seperti gambar barang mewah, liburan eksotis, atau pencapaian luar biasa. Akibatnya, banyak orang merasa bahwa mereka harus terus menerus menunjukkan sisi terbaik hidup mereka, bahkan jika itu tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya. Keinginan untuk tampil lebih sukses, lebih kaya, dan lebih bahagia daripada yang lain telah menciptakan semacam “kompetisi” yang tidak sehat, di mana nilai seseorang diukur hanya dari apa yang mereka miliki dan tampilkan, bukan dari kualitas diri yang sebenarnya.

Fenomena ini membawa dampak yang besar terhadap kemandirian finansial seseorang. Banyak orang merasa terpaksa untuk menghabiskan uang lebih dari yang mereka mampu demi mencapai gaya hidup yang ditampilkan di media sosial. Mereka berutang, membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan, atau bahkan mengubah pola hidup mereka hanya untuk menyesuaikan diri dengan standar yang ditentukan oleh orang lain. Pada akhirnya, mereka menjadi terperangkap dalam lingkaran konsumsi berlebihan, yang pada gilirannya merusak kemandirian mereka dalam mengelola keuangan pribadi. Bukannya membangun fondasi keuangan yang stabil, mereka malah menghabiskan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk tujuan jangka panjang demi mengikuti tren yang hanya bersifat sementara.

Related Post

Politisi Cerdas Berkelit, Biar Masyarakat Makin Sulit

Politisi Cerdas Berkelit, Biar Masyarakat Makin Sulit

January 20, 2025
Gersos PK PMII MAKIBRA, Roviq Wahyudin: Memahami Problem Masyarakat Itu Penting

Gersos PK PMII MAKIBRA, Roviq Wahyudin: Memahami Problem Masyarakat Itu Penting

January 18, 2025

Laku Feodal Cenderung Membatasi Mobilitas Sosial

June 6, 2024

Dalam konteks yang lebih luas, budaya flexing berpotensi merusak rasa solidaritas dalam masyarakat. Salah satu nilai penting yang telah menjadi ciri khas kehidupan sosial di berbagai budaya adalah gotong royong, yaitu kemampuan untuk bekerja sama demi kebaikan bersama. Namun, budaya flexing mendorong individu untuk lebih fokus pada pencapaian pribadi dan kompetisi antar sesama. Masyarakat yang seharusnya saling mendukung kini lebih tertarik untuk bersaing satu sama lain dalam hal apa yang mereka miliki. Ini menyebabkan penurunan rasa empati dan kepedulian terhadap orang lain, serta melemahkan ikatan sosial yang seharusnya menjadi pilar bagi kemajuan bersama.

Selain itu, budaya flexing seringkali menciptakan ketidakpuasan dan rasa tidak cukup bagi banyak individu. Mereka yang tidak mampu mengikuti standar yang ditampilkan di media sosial sering merasa minder, kurang berarti, atau bahkan cemas karena merasa tidak bisa mencapai kesuksesan yang sama. Hal ini menciptakan krisis identitas, di mana banyak orang tidak lagi merasa nyaman dengan diri mereka sendiri dan terobsesi untuk mengikuti cita-cita hidup yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka. Keinginan untuk selalu diterima dan diakui oleh orang lain melalui tampilan eksternal menghalangi mereka untuk membangun rasa percaya diri yang sejati, yang berasal dari pencapaian pribadi dan kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan.

Kemandirian masyarakat, yang seharusnya tercermin dalam kemampuan untuk hidup dengan prinsip dan mengelola hidup dengan bijak, mulai terkikis oleh tekanan sosial yang ditimbulkan oleh budaya flexing. Masyarakat yang sejati bukanlah masyarakat yang hanya mengandalkan citra luar atau hal-hal yang bersifat sementara untuk menentukan nilai diri mereka. Kemandirian yang sesungguhnya adalah kemampuan untuk mengelola kehidupan secara mandiri, dengan fokus pada pengembangan diri, pengelolaan keuangan yang bijak, serta membangun hubungan yang sehat dan tulus dengan orang lain.

Penting untuk menyadari bahwa kemandirian bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki atau seberapa banyak yang bisa kita pamerkan. Kemandirian sejati berasal dari kemampuan untuk bertanggung jawab atas kehidupan kita sendiri, untuk tidak terjebak dalam norma-norma sosial yang hanya mengejar kepuasan sementara, dan untuk mengenali bahwa kebahagiaan sejati datang dari rasa damai dalam diri, bukan dari benda-benda atau status sosial yang bisa dilihat oleh orang lain.

Untuk itu, kita perlu kembali kepada nilai-nilai yang lebih mendalam, seperti kejujuran, ketulusan, dan keberanian untuk hidup sesuai dengan prinsip yang kita yakini. Menghargai proses, bukan hasil akhir, akan membawa kita pada pencapaian yang lebih berarti dan membangun kemandirian yang berkelanjutan. Mengurangi ketergantungan pada pengakuan sosial dan lebih fokus pada perkembangan diri akan membebaskan masyarakat dari belenggu budaya flexing yang hanya mendorong mereka untuk hidup dalam bayang-bayang standar yang tidak realistis. Kemandirian masyarakat bukanlah sesuatu yang bisa dicapai dengan memamerkan segala sesuatu, melainkan dengan menjalani hidup dengan integritas dan tanggung jawab, sambil tetap menjaga hubungan yang sehat dengan sesama.

Dengan demikian, untuk melawan dampak negatif budaya flexing, setiap individu perlu mengambil langkah pertama dengan menumbuhkan kesadaran diri dan kesadaran sosial. Kemandirian masyarakat yang kuat hanya dapat tercipta apabila setiap orang berani untuk hidup sesuai dengan diri mereka sendiri, tanpa terjebak dalam ilusi yang ditawarkan oleh dunia maya. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang mampu membangun kekuatan dari dalam, mengutamakan nilai-nilai moral yang luhur, dan saling mendukung dalam menghadapi tantangan kehidupan tanpa harus pamer kekayaan atau pencapaian pribadi. (*)

Tags: Budaya FlexingKonteks FinansialMasyarakatMeruntuhkan Kemandirian
Redaksi

Redaksi

Related Posts

Politisi Cerdas Berkelit, Biar Masyarakat Makin Sulit
Artikel

Politisi Cerdas Berkelit, Biar Masyarakat Makin Sulit

by Redaksi
January 20, 2025
Gersos PK PMII MAKIBRA, Roviq Wahyudin: Memahami Problem Masyarakat Itu Penting
Berita

Gersos PK PMII MAKIBRA, Roviq Wahyudin: Memahami Problem Masyarakat Itu Penting

by Redaksi
January 18, 2025
Laku Feodal Cenderung Membatasi Mobilitas Sosial
Artikel

Laku Feodal Cenderung Membatasi Mobilitas Sosial

by Redaksi
June 6, 2024
Next Post
Ancaman AI Terhadap Kesakralan Pengetahuan Kaum Intelektual

Ancaman AI Terhadap Kesakralan Pengetahuan Kaum Intelektual

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Donation

Buy author a coffee

Donate

Recommended

Gerak Cepat Setelah KDMP Diluncurkan, Kades Rengel Mundir: Terima Kasih Support PT Perekonomian Pondok Pesantren Sunan Drajat!

Gerak Cepat Setelah KDMP Diluncurkan, Kades Rengel Mundir: Terima Kasih Support PT Perekonomian Pondok Pesantren Sunan Drajat!

July 23, 2025
Lakpesdam PCNU Tuban, Aam Waro’ Panotogomo: 80 Tahun Kemerdekaan Tantangan Global Semakin Nyata

Lakpesdam PCNU Tuban, Aam Waro’ Panotogomo: 80 Tahun Kemerdekaan Tantangan Global Semakin Nyata

August 18, 2025
Foto: Sudutlancip.com

Pernyataan Pejabat: Antara Janji, Ilusi, dan Komedi Publik

August 17, 2025
Foto: gusdur.net

Ketika Pejabat Bicara, Rakyat Geleng-Geleng Kepala

August 17, 2025
Ilustrasi: kibrispdr.org

Duka Nestapa Negeri Punya Pejabat Ngawur

August 19, 2025
Lakpesdam PCNU Tuban, Aam Waro’ Panotogomo: 80 Tahun Kemerdekaan Tantangan Global Semakin Nyata

Lakpesdam PCNU Tuban, Aam Waro’ Panotogomo: 80 Tahun Kemerdekaan Tantangan Global Semakin Nyata

August 18, 2025
Foto: Sudutlancip.com

Pernyataan Pejabat: Antara Janji, Ilusi, dan Komedi Publik

August 17, 2025
Foto: Pixabay.com

Ngawurnya Menteri Berstatmen, Cerminan Isi Otaknya

August 17, 2025
Wilwatekta.com

media alternatif yang ada di Kabupaten Tuban. Lahir pada akhir 2020, Bertepatan dengan malam Isra Mikraj. Malam yang indah dan Insya Allah penuh berkah.

Read more »

Recent Posts

  • Duka Nestapa Negeri Punya Pejabat Ngawur
  • Lakpesdam PCNU Tuban, Aam Waro’ Panotogomo: 80 Tahun Kemerdekaan Tantangan Global Semakin Nyata
  • Pernyataan Pejabat: Antara Janji, Ilusi, dan Komedi Publik

Categories

  • Apem
  • Artikel
  • Ayam Geprek
  • Berita
  • Bisnis
  • cafe hits di Blitar
  • Cerpen
  • Digital
  • Esai
  • Event
  • Gaya Hidup
  • ice cream
  • Kesehatan
  • Makanan
  • Minuman
  • Nutrisi
  • Opini
  • Pendidikan
  • Puasa
  • resep makanan
  • tips
  • Tuban
  • Uncategorized
  • Viral
  • Wisata
  • Wisata Kuliner

© 2025 Wilwatekta - Didikukung oleh ulfamasfufah.com.

No Result
View All Result
  • Disclaimer
  • Home
  • Info Kerjasama
  • Kirim Naskah
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Penulis
  • Tentang Kami

© 2025 Wilwatekta - Didikukung oleh ulfamasfufah.com.