Oleh: Wawan Purwadi
WILWATEKTA.COM – Pada hari ini budaya pengetahuan telah mengalami kegersangan dan sulit diterima. Bagaimana tidak? Budaya pengetahuan yang sakral telah mengalami pergeseran nilai. Pun kaum intelektual seolah lumpuh tak mampu berbuat apa-apa untuk membendung kecerdasan buatan (Artificial intelligence / AI). Hari ini AI dianggap sebagai sarana pembuka cakrawala baru dalam banyak aspek kehidupan manusia, mulai dari inovasi teknologi hingga efisiensi dalam pekerjaan sehari-hari. Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan ini, muncul pertanyaan yang mendalam tentang bagaimana AI mempengaruhi kesakralan pengetahuan yang telah lama dihargai oleh kaum intelektual. Bagi banyak orang, pengetahuan bukan hanya sekadar informasi yang dapat diakses, melainkan juga suatu pencapaian yang dibangun dengan kerja keras, dedikasi, dan pemahaman yang mendalam. Baik melalui kajian buku, manuskrip, penelitian dan disiplin keilmuan lainnya. Namun dalam konteks ini, AI membawa tantangan yang kompleks terhadap nilai dan keaslian pengetahuan itu sendiri.
Salah satu ancaman utama yang dihadirkan oleh AI adalah kemampuannya untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi dengan sangat cepat dan dalam jumlah yang tidak terhingga. AI, yang didukung oleh algoritma canggih dan pembelajaran mesin, dapat mengakses berbagai sumber informasi, menganalisis data, dan menghasilkan artikel atau riset dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini berpotensi mengurangi peran manusia sebagai peneliti dan pemikir utama dalam proses penciptaan pengetahuan. Sebuah karya ilmiah atau penemuan yang sebelumnya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berkembang dan diuji, kini bisa diproduksi dalam hitungan jam, bahkan menit, oleh AI. Dengan demikian, kecepatan dan efisiensi ini seringkali mengaburkan esensi dari pencarian pengetahuan itu sendiri.
Selain itu, AI sering kali bekerja berdasarkan pola dan data yang ada, tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih dalam atau nuansa tertentu yang mungkin hanya bisa dipahami oleh manusia. Pengetahuan yang dihasilkan oleh AI cenderung lebih terbatas pada informasi yang sudah ada dan tidak dapat menggantikan kemampuan kritis dan reflektif yang dimiliki oleh seorang intelektual. Kaum intelektual, dalam tradisi akademis dan filosofis, memiliki kelebihan dalam melakukan analisis yang mendalam, mengajukan pertanyaan yang sulit, serta mencari tahu apa yang tidak terlihat oleh data mentah semata. AI, meskipun mampu memproses data dengan sangat efisien, tidak memiliki kemampuan untuk memahami konteks sosial, moral, atau filosofis yang sangat penting dalam perkembangan pengetahuan yang bernilai.
Dengan adanya AI, ada potensi bagi pengetahuan yang dihasilkan untuk menjadi terfragmentasi dan kehilangan kedalaman. Sebuah artikel atau karya ilmiah yang ditulis oleh AI mungkin akan mencakup fakta-fakta yang benar, namun seringkali kurang mendalam dalam pemahaman atau pandangan yang lebih luas. Hal ini bisa meruntuhkan nilai-nilai intelektual yang lebih esensial, seperti pemikiran kritis, perdebatan yang mendalam, dan pencarian makna yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan algoritma. Pengetahuan yang disajikan dalam format yang cepat dan praktis, namun dangkal, mengancam untuk menggantikan proses belajar yang melibatkan refleksi dan diskusi yang mendalam—proses yang menjadi esensi dari dunia intelektual.
Di sisi lain, AI juga berpotensi menumbuhkan budaya konsumsi pengetahuan yang lebih dangkal. Karena informasi yang dihasilkan oleh AI mudah diakses dan bisa dikonsumsi dalam waktu singkat, orang cenderung beralih untuk mencari jawaban instan daripada berusaha mencari pemahaman yang lebih komprehensif dan terperinci. Ini bisa mengarah pada penurunan kualitas pendidikan dan pemahaman, di mana orang lebih memilih kemudahan akses dan hasil cepat, daripada proses intelektual yang lebih panjang dan membutuhkan refleksi mendalam. Dalam hal ini, AI mempercepat budaya instan yang bertentangan dengan nilai kesakralan pengetahuan yang mengutamakan proses berpikir kritis dan kedalaman pemahaman.
Selain itu, dengan semakin banyaknya karya yang dihasilkan oleh AI, kaum intelektual juga menghadapi tantangan terkait keaslian dan otoritas sumber pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan oleh AI sering kali sulit untuk dipertanggungjawabkan secara etis atau metodologis, karena AI tidak memiliki akuntabilitas atau pemahaman moral yang sama seperti seorang manusia. Hal ini menimbulkan risiko penyebaran informasi yang keliru atau bahkan manipulatif, yang sangat berbahaya bagi masyarakat yang mengandalkan pengetahuan untuk membuat keputusan penting, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kebijakan publik.
AI juga dapat memperburuk ketimpangan dalam distribusi pengetahuan. Karena akses ke teknologi AI lebih mudah diperoleh oleh mereka yang memiliki sumber daya atau kemampuan teknis, ada risiko bahwa hanya segelintir orang atau kelompok yang memiliki kontrol atas produksi dan distribusi pengetahuan. Ini menciptakan ketidaksetaraan dalam akses informasi dan dapat memperburuk kesenjangan intelektual di masyarakat. Ketimpangan ini berpotensi mengikis prinsip-prinsip demokrasi dalam pendidikan dan pencarian pengetahuan, di mana semua individu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pengetahuan yang valid dan berkualitas.
Untuk itu, penting bagi kaum intelektual dan masyarakat pada umumnya untuk memandang AI sebagai alat yang dapat digunakan untuk memperkaya pencarian pengetahuan, tetapi dengan kesadaran penuh terhadap batasan dan potensi bahayanya. AI seharusnya tidak menggantikan peran manusia dalam berpikir kritis, menggali makna, dan mempertanyakan asumsi yang ada. Sebaliknya, AI harus dipandang sebagai alat bantu yang dapat memfasilitasi penelitian dan pengumpulan data, tetapi keputusan akhir dan pemahaman mendalam tetap harus datang dari manusia, yang memiliki kapasitas untuk menilai, mengevaluasi, dan memahami pengetahuan dalam konteks yang lebih luas.
Keterlibatan aktif dari kaum intelektual dalam mendidik dan mengarahkan penggunaan AI dengan bijak sangat penting agar pengetahuan tetap dihargai sebagai sesuatu yang sakral dan berharga. Pengetahuan bukan sekadar informasi yang bisa dihasilkan secara otomatis, melainkan hasil dari proses panjang yang melibatkan pertanyaan, pencarian, perdebatan, dan refleksi yang mendalam. Dengan demikian, AI harus dilihat sebagai sarana yang melengkapi, bukan sebagai ancaman yang meruntuhkan, kesakralan pengetahuan yang telah dibangun oleh para pemikir dan intelektual sepanjang sejarah. (*)