WILWATEKTA.COM – Dalam dunia birokrasi, pejabat publik memiliki tanggung jawab besar untuk melayani masyarakat, menyelesaikan masalah, dan membawa perubahan yang positif. Namun, tidak jarang kita mendengar alasan-alasan klasik yang dilontarkan pejabat ketika menghadapi kritik atau kegagalan. Alasan-alasan demi alasan terlontar untuk menghindari jawaban dari sebuah persoalan. Kita sering mendengar seperti dalih kosong, tidak hanya menunjukkan kurangnya akuntabilitas, tetapi juga memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Saling lepar tanggung jawab dengan berbagai dalih.
Dominan perkataan yang sering muncul dari mulut pejabat publik, “itu bukan wewenang kami.” Nah, itu adalah salah satu alasan yang sering digunakan untuk menghindar dari tanggung jawab. Ketika menghadapi masalah yang jelas membutuhkan perhatian, beberapa pejabat memilih menghindar dengan mengatakan bahwa itu di luar kewenangan mereka. Padahal, masyarakat jarang peduli tentang pembagian tugas yang rumit dalam birokrasi; yang mereka inginkan adalah solusi nyata, bukan alasan.
Sekain itu, “masalah ini sedang dalam proses.” Ungkapan lain yang sering kali digunakan sebagai jawaban standar ketika masyarakat mempertanyakan hasil kerja yang tak kunjung terlihat. Namun, jawaban ini jarang disertai dengan penjelasan rinci atau kerangka waktu yang jelas, membuat publik semakin frustrasi.
Kemudian jawaban yang paling dominan dalam urusan kuasa anggaran untuk merealisasikan visi-misi pemimpin, “anggaran belum turun.” Menjadi favorit bagi pejabat yang ingin menutupi lambatnya implementasi program. Meski ada kendala administratif, sering kali persoalannya terletak pada perencanaan yang buruk atau minimnya koordinasi antar lembaga.
Nah, mereka juga merasa sudah mejalankan tugas dengan baik. Sehingga muncul alasan, “kami sudah bekerja sesuai prosedur.” Dan alasan ini yang sering muncul saat mendapatkan kritik dari masyarakat. Mereka merasa sudah mengikuti prosedur dengan tepat, namun hasilnya tidak bisa dirasakan. Ketika hasil tidak memuaskan, menyalahkan prosedur hanya menunjukkan ketidakmampuan untuk berpikir kreatif atau mengambil langkah ekstra untuk menyelesaikan masalah.
Bisa dibilang pejabat pemerintahan kinerjanya stagnan. Karena tidak mampu membuat inovasi kebijakan yang mampu menolong keresahan masyarakat. Selain itu, untuk mengaman diri dan menghindari tekanan pemimpin. Karena belum memenuhi hasyarat politik.
Alasan yang sering muncul adalah menyalahkan pemimpin terdahulu, “ini warisan pemerintahan sebelumnya” adalah dalih yang digunakan untuk mengalihkan tanggung jawab dari masalah yang sudah lama ada. Alih-alih mencari solusi, pejabat yang mengandalkan alasan ini cenderung hanya mencari kambing hitam.
Untuk membuat kesan dan terlihat cerdas. Mereka menggunakan alasan yang tidak kalah penting untuk mengulur waktu, “kita perlu kajian lebih mendalam.” sering terdengar untuk menunda tindakan. Kajian mendalam memang penting, tetapi jika hal ini terus-menerus dijadikan alasan untuk menunda tindakan, publik akan mempertanyakan keseriusan pejabat tersebut. Dalam banyak kasus, data dan solusi sebenarnya sudah tersedia, tinggal bagaimana kemauan untuk mengeksekusinya.
Sering kali pejabat pemerintahan menyalahkan kerja-kerja jurnalis sebagai bahan alasan yang dianggap masuk akal, “media salah paham” adalah alasan yang muncul ketika ada kritik dari media. Beberapa pejabat cenderung menyalahkan pemberitaan ketimbang memberikan klarifikasi yang transparan. Ini hanya menambah kesan bahwa pejabat tersebut tidak mampu menangani kritik secara profesional.
Bukan pejabat kalau tidak cerdas dalam berdalih, meskipun memang tidak bisa kerja. Pasti akan cari seribu alasan, “kami akan evaluasi.” sering kali terdengar meyakinkan, tetapi tanpa tindakan nyata, janji ini hanya menjadi angin lalu. Masyarakat butuh hasil, bukan sekadar wacana.
Penggunaan alasan-alasan klise seperti ini menunjukkan minimnya transparansi, tanggung jawab, dan komitmen untuk melayani masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan publik, stagnasi progres, dan meningkatnya sinisme di kalangan masyarakat. Retorika kosong hanya akan memicu sinisme di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya merusak hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Untuk mengatasi masalah ini, pejabat publik perlu mengubah pendekatan mereka. Transparansi adalah langkah awal yang penting, dengan menjelaskan masalah secara jujur dan terbuka, termasuk tantangan yang dihadapi dan langkah-langkah yang sedang dilakukan. Komunikasi yang efektif, yang menghindari retorika kosong dan memberikan informasi yang jelas serta berbasis data, juga sangat diperlukan. Selain itu, fokus pada tindakan nyata dan akuntabilitas adalah kunci untuk memperbaiki hubungan dengan masyarakat.
Pada akhirnya, alasan klasik tidak hanya mencerminkan ketidakmampuan, tetapi juga mengungkapkan kurangnya rasa hormat kepada masyarakat. Pejabat yang benar-benar peduli tidak akan bersembunyi di balik dalih, melainkan bekerja keras untuk memberikan hasil yang nyata. Karena itulah, masyarakat berhak menuntut pemimpin yang lebih transparan, kompeten, dan bertanggung jawab. (*)